384 Views

0 Comments

December 28, 2016

Perusahaan yang pernah menjadi leader di industrinya seringkali mengalami penurunan, dan bahkan mengalami kebangkrutan. Faktor penyebabnya antara lain adalah terlalu fokus pada konsumen yang ada, kinerja keuangan jangka pendek, serta ketidakmampuan untuk beradaptasi dan berinovasi. Suatu keberhasilan dapat menjadi sebuah kegagalan dengan menghambat pembelajaran, baik tingkat individu maupun organisasi. Belajar dari kegagalan merupakan hal yang biasa kita lakukan, namun belajar dari keberhasilan merupakan sebuah tantangan besar. Prinsip ini juga dapat berlaku baik di instansi Pemerintah, seperti Inspektorat Jenderal Kementerian Perhubungan. Pada tahun 2015, Inspektorat Jenderal telah meraih berbagai keberhasilan, seperti mendapatkan sertifikasi ISO 9001:2008 dan tata kelola APIP level 3. Keberhasilan ini tidak boleh menjadikan diri sombong dan tidak mau lagi tumbuh dan berkembang.

Tiga hambatan untuk menjadikan keberhasilan sebuah pembelajaran adalah :

  1. Kecenderungan pada kesalahan atribusi mendasar, yakni ketika kita mencapai keberhasilan, kita cenderung menyimpulkan bahwa keberhasilan itu disebabkan oleh bakat atau kapabilitas yang kita miliki dan model atau strategi yang kita gunakan saat ini. Kecenderungan ini menyebabkan kita tidak memperhatikan adanya faktor lain yang mungkin terjadi seperti faktor lingkungan atau peristiwa tertentu yang terjadi.
    Contohnya dalam balap, banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil, tidak hanya desain sepeda motor, bakat dan keputusan pembalap atau strategi yang digunakan, namun ada faktor lain seperti keberuntungan, cuaca atau kecelakaan atau beberapa kombinasi kompleks dari semuanya. Untuk itu, keberhasilan yang dicapai juga perlu untuk dipelajari dan dianalisa. Begitu pula dalam bisnis, keberhasilan suatu produk belum tentu disebabkan kualitas produk atau keputusan manajemen sehingga perlu untuk dipelajari dan tidak mengabaikan faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya.
  2. Terlalu percaya diri, artinya keberhasilan menyebabkan peningkatan keyakinan diri sehingga kita merasa tidak perlu mengubah apapun. Kita melupakan bahwa dunia ini selalu berubah sehingga kita harus selalu memikirkan perubahan untuk beradaptasi.
    Contohnya pengalaman Ducati, untuk pertamakalinya Ducati memasuki Grand Prix balap motor atau yang dikenal MotoGP pada tahun 2003. Menjelang 2003, Ducati mempelajari banyak hal seperti melengkapi motor dengan sensor yang menangkap data pada 28 parameter kinerja (seperti suhu dan tenaga kuda) dan mengintrograsi pembalap setiap selesai balapan untuk mendapat masukan tentang karakteristik subjektif terhadap penanganan dan responsif. Pembelajaran yang dilakukan ini menyebabkan keberhasilan pada tahun 2003, sebagai pendatang baru Ducati dapat selesai antara tiga di sembilan balapan dan secara keseluruhan menempati posisi kedua. Keberhasilan ini menyebabkan kepercayaan diri yang tinggi akan kemampuan yang dimiliki sehingga Ducati percaya dapat memenangkan semuanya pada tahun 2004. Kenyakinan tersebut membuat Ducati mengambil keputusan yang radikal dengan mendesain ulang motor tim, berbeda dari 2003 (bukan peningkatan desain tahun 2003) tanpa didukung analisis data sebelumnya. Hasilnya pada tahun 2004, Ducati hanya meraih posisi ketiga. Meskipun posisi ketiga tidak jelek, tetapi ini merupakan sebuah kegagalan. Dapat disimpulkan bahwa Ducati tidak menjadikan keberhasilan sebuah pembelajaran sehingga terjadi kegagalan.
    Terlalu percaya diri dikarenakan keberhasilan yang telah dicapai dapat mempengaruhi seluruh organisasi, menyebabkan organisasi mengabaikan inovasi dan kepuasan pelanggan, meningkatkan masalah kualitas dan terlalu berani mengambil resiko. Banyak organisasi yang berhasil menjadi terlalu percaya diri sehingga tidak memperbaiki atau memperbaharui strategi yang dimiliki atau terlambat untuk melakukan perubahan dan mengalami kegagalan atau kebangkrutan.
  3. Kecenderungan untuk mempertanyakan kegagalan.
    Setiap kegagalan selalu dipertanyakan atau diselidiki penyebabnya sehingga pencapaian keberhasilan dianggap tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan. Ketika mencapai keberhasilan dan tidak ada pertanyaan maka pengetahuan dan wawasan dimiliki akan sempit, merasa bahwa keberhasilan yang dicapai sudah puncak dan tidak ada yang perlu diperbaiki atau dipertahankan. Ini banyak terjadi, contohnya di rumah sakit, dokter akan sangat ingin tahu dan mempelajari banyak hal ketika menghadapi kasus atau pasien yang tidak dapat diselamatkan, namun sedikit sekali yang dilakukan untuk mengetahui atau memahami pasien yang berhasil atau sembuh. Bahkan perusahaan sebesar Toyota, memperbaiki atau membangun sistem produksinya lebih banyak untuk mengatasi penyebab masalah dibandingkan penyebab keberhasilan.
    Untuk menghindari jebakan kesuksesan yang mengakibatkan kegagalan atau kebangkrutan, kita perlu memahami bagaimana pengalaman menjadi bentuk pembelajaran. Belajar adalah proses kognitif dan organisasi yang sangat kompleks dan harus dilakukan terus menerus. Apakah sukses berarti “tidak rusak”? Belum tentu. Kenyataannya adalah bahwa sukses (atau keberhasilan) mungkin berarti kita berada di jalur yang benar, namun belum bisa dianggap benar apabila belum dilakukan pengujian lebih lanjut, eksperimen, dan refleksi. Keberhasilan harus dipelajari dan dipahami agar menciptakan keberhasilan berikutnya. Sebagai contoh, Apple belajar dari keberhasilan meluncurkan iPhone, menerapkan pengetahuannya untuk meluncurkan iPad. Apple menyadari bahwa pasar smartphone seperti iphone cukup besar sehingga dapat menjadi kendaraan ideal untuk memepelajarinya dan menciptakan inovasi.

Lima pendekatan yang dapat membantu perusahaan mencapai kesuksesan :

  1. Merayakan kesuksesan dengan memeriksanya
    Merayakan keberhasilan bukan hal yang salah tetapi harus diikuti dengan analisa penyebab keberhasilan seperti ketika kita menganalisa penyebab kegagalan. Mengakui penyebab keberhasilan terkadang bukan proses yang menyenangkan karena ada kemungkinan bahwa keberhasilan yang dicapai disebabkan faktor kebetulan. Pencarian penyebab keberhasilan atau kesuksesan dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin sulit atau yang tidak mungkin dilakukan lagi sehingga dapat memicu adanya inovasi strategi.
  2. Ulas proyek secara sistematis.
    Setiap proyek yang berhasil harus diteliti kembali, dilakukan review sama seperti ketika proyek mengalami kegagalan. Dengan melakukan review berkala dan berusaha mencari perspektif lain (seperti perspektif orang-orang yang tidak terlibat dalam projek) maka dapat memperbaharui strategi sehingga mencapai kesuksesan berikutnya.
  3. Gunakan cakrawala waktu yang tepat
    Identifikasi penyebab kinerja akan mudah dilakukan ketika jarak waktu antara tindakan dan konsekuensinya adalah singkat. Pada kenyataannya, dalam banyak kasus, jarak keduanya membutuhkan waktu yang cukup panjang seperti dalam dunia farmasi, keberhasilan sebuah obat memerlukan waktu yang tidak singkat. Oleh karena itu, perlu memahami dimensi waktu yang tepat agar tidak terjebak dalam keberhasilan atau kegagalan.
  4. Memahami bahwa replikasi bukanlah pembelajaran
    Ketika segala sesuatu berjalan dengan baik, perhatian terbesar kita adalah bagaimana menangkap apa yang kita lakukan dan memastikan kita dapat mengulang sukses. Replikasi penting, namun ketika kita hanya mereplikasi atau melakukan hal yang sama tanpa memperbaharui untuk proyek selanjutnya, maka sama dengan kita menuju kegagalan. Alat seperti Six Sigma dan Total Quality Manajement merupakan alat yang dapat digunakan untuk menggali akar penyebab masalah, dan ini dapat juga kita gunakan untuk mengidentifikasi akar penyebab keberhasilan. Dengan demikian kita juga dapat memahami faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi keberhasilan kita dan membantu kita dapat melakukan pembaharuan.
  5. Terus melakukan percobaan pada semua produk, baik yang gagal maupun yang berhasil
    Eksperimen atau percobaan adalah salah satu cara untuk menguji asumsi dan teori-teori tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat kinerja yang tinggi. Percobaan ini harus terus dilakukan secara berkelanjutan, tidak hanya saat produk gagal tetapi juga saat produk berhasil. Dengan mempelajari dan terus melakukan percobaan terhadap produk yang berhasil maka dapat menciptakan kesuksesan berikutnya. Dalam hal Inspektorat Jenderal, produk yang diberikan adalah berupa layanan jasa dalam bidang pengawasan internal.

Sekali lagi, jangan pernah puas dan harus belajar dari sebuah keberhasilan untuk mencapai keberhasilan selanjutnya. Dunia terus berubah maka kita juga harus beradaptasi mengikuti perubahannya (WLN).

Referensi : Gino, F. & Pisano, G.P. 2011. Why leader don?t learn from success? Harvard Business Review, April:68-74.

Loading

Share Now: